Skip to main content

CATATAN KECIL SELEPAS MALAM BEDAH BUKU PERIHAL PULANG KARYA MILA LOLONG



Foto Bersama: Usai bedah buku Perihal Pulang karya Mila Lolong, ketiga pembeda buku tersebut Fr. Yurgo Purab, Eman Krova, S.Fil, M.Si dan Pater Stef Tupeng Witin, SVD pose bersama penulis, Sabtu 20 Juni 2020/Fb Mila Lolong

Sabtu, 20 Juni 2020 publik Nusa Tenggara Timur (NTT) sedikit bernapas legah lantaran melewati masa Karantina (stay at home) dan menyambut new normal yang sedikitnya merubah pola hidup masyarakat. Umat Kristiani sedang khusuk mempersiapan diri untuk mengikuti ibadat sabda, misa dan kebaktian Hari Minggu secara virtual dari rumah untuk menghindari ancaman wabah virus corona.

            Malam yang sunyi penuh kerinduan itu, dari bumi Lembata penyair muda Mila Lolong hadir dengan karya perdananya Antologi Puisi “Perihal Pulang” mengundang sekian banyak orang (pegiat sastra dan penyair) untuk melebur diri seraya merefleksikan dan membedah karya Perihal Pulang. Suasana masih sunyi. Suara dan teriakan sajak-sajak Perihal Pulang menghantar para undangan dan penonton live streaming untuk turut mengambil bagian dalam kesunyian sajak-sajak Mila Molong yang dikemas sangat indah melalui tapak-tapak pulang menuju kerinduan yang dalam.

Acara bedah buku yang disiarkan langsung chanel youtube Hip hop lembata Foundation tampak sederhana. Suasana panggung yang dirias apa adanya tampak alami mengudang decak kagum para undangan dan penotonton live streaming sekalian mempertanyakan makna Perihal Pulang yang sesungguhnya.

Master Of ceremony (MC) Fredy Wahon dan Icond dengan lantang mengundang 3 narasumber pembedah buku Antologi Puisi karya Mila Lolong yakni, Pater Steph Tupeng Witin, SVD, Eman Krova, S.Fil, M.Si, dan Fr. Yurgo Purab. Ketiga pembicara yang dihadirkan Pater Stef dan Fr. Yurgo mungkin tidak begitu asing bagi publik Flores-Lembata, karena nama-nama mereka sering ditemukan di media cetak dan media online dengan tulisan-tulisan dan keterlibatan mereka dalam pelbagai ajang kegiatan. Pater Stef Tupeng Imam Serikat Sabda Allah, juga seorang Jurnalis senior yang saat ini tinggal di Soverdi Bukit Waikomo Lembata. Frater Yurgo Purab adalah seorang calon imam dan penyair muda yang banyak kali ditemukan karya-karyanya di media lokal NTT. Sedangkan Eman Krova sosok yang sangat potensial sering diundang untuk membedah buku-buku karya putra-putri Flores-Lembata.

Komentar Para Narasumber

Frater Yurgo sebagai pembicara pertama dalam bedah buku Perihal Pulang memberikan apreseasi kepada penulis karya Perihal Pulang. Frater Yurgo mengutip Rolan Barthes (1915-1980) kritikus satra yang berbicara mengenai ekserkusi (kematian penulis). Bercermin pada kutipan Rolan Barthes, Frater Yurgo mau mengingatkan penulis karya Perihal Pulang (Mila Lolong) dan kepada pembaca bahwa karya sastra yang dihasilkan, penulis karya dianggap mati. Ketika penulis karya mati, maka penulis tidak mampu membangun kekuatan untuk memberi argumentasi ataupun mengintervensi pandangan pembaca yang menafsirkan karyanya secara lain.

Pater Steph Tupeng Witin Mengomentari Buku Perihal Pulang/Foto Fb Milang Lolong

“Setelah menulis puisi Mila tidak punya hak untuk mengintervensi ketika buku itu sudah ditangan pembaca. Disitu pengarang puisi mati dan ia tidak membatasi tulisannya jika ditafsir lain atau dibaca siapapun dengan pikirannya tersendiri, dan bisa jadi pembaca menemukan sesuatu yang baru yang tidak dapat dipikirkan sebelumnya oleh penulis,” kata Frater Yurgo.

Eman Krova dalam komentarnya sangat setuju dengan pembicara pertama Fr Yurgo yang mengutip Rolan Bartnes tentang penulis yang mati. Menutur Eman Krova dalam membedah buku penulis itu harus mati sehingga pembedah bebas melihat makna yang terdapat dalam karya yang dihasilkan. Karena itu, Eman Krova dalam komentarnya menilai bahwa penulis mesti bekerja lebih optimal untuk mengeskplorasi makna yang kuat sebagai kejutan-kejutan menarik pada setiap bait Puisi Mila. Puisi itu kehidupan. Puisi Itu rindu. Karena itu dalam karya Perihal Pulang, penulis mesti menyiapkan rindu menjadi rasa dan rindu menjadi liar.

“Bila penulis menghadirkan rindu sebagai psikologi maka anda sedang belajar sebuah ilmu. Ini merupakan kegagalan para penyair dalam mengeksplor makna dalam sebuah puisi,” tutur Eman Krova.

Eman Krova pada kesempatan tersebut mengatakan bahwa hadirnya karya perdana Mila Lolong “Perihal Pulang”, dirinya sangat yakin bahwa penulis akan sangat berkembang dengan baik, bila mencermati catatan-catatan yang disampaikan ketiga pembedah dalam kesempatan tersebut.

Mila Lolong Pemilik Karya Perihal Pulang/Dok. Pribadi

Pater Stef Tupeng Witin sebagai pembicara ketiga turut mengapreseasi karya Perdana Mila yang sangat bernilai. Bagi Pater Stef mengapreseasi sebuah karya berarti membiarkan diri “larut” karya (kata, kalimat dan bahasa). Kemudian rasa itu akan muncul secara alamiah dan akhirnya disebut sebagai karya yang asli. Menurut Pater Stef karya Perihal pulang merupakan sebuah ajakan bagi setiap pembaca untuk kembali pada kehidupannya. Karya Perihal Pulang merupakan sebuah proses, karena setiap kalimat puisi-puisi Mila tidak hanya menggambarkan kenyataan tetapi juga melahirkan kenyataan.

“Memegang karya Mila Lolong sama dengan pertama kali seorang bayi merah yang terlempar keluar dari Rahim seorang ibu. Dan ayahnya menatangnya sebagai sebuah mujizat, kemudian bertanya dari mana engkau”, tuturnya.

Dari tiga pembedah buku Antologi Puisi Perihal Pulang saya melihat bahwa komentar yang diutarakan semacam ada perpaduan suara nyanyian sangkakala yang terdengar sangat merdu dengan iringan melodi-melodi rindu yang saling meneguhkan dan menuntun. Karya Perihal Pulang merupakan sebuah ajakan pulang yang penuh dengan cinta dan kerinduan untuk menemukan diri sekalian menguduskannya dalam suatu kehidupan yang murni dan alamiah. Mari kita saling mengajak untuk pulang menelusuri tapak-tapak kehidupan dalam karya Mila Lolong dan pada akhirnya boleh mengalami cinta yang murni dan asli dalam kehidupan kita masing-masing.

Buku Perihal Pulang Karya Mila Lolong/Foto Fb Mila Lolong

Profil Mila Lolong

Mila Lolong perempuan kelahiran Lembata 13 Oktober  1997, di kampung Lewoeleng dengan nama lengkap Maksimiliana  Wua Lolong. Anak ke-empat dari  enam bersaudara. Ia menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDK Lewoeleng pada tahun 2010, kemudian menempuh sekolah menengah pertama di SMP Sinar Pelita Ledoblolong (Sekarang SMP Negeri 5 Lebantukan-Lembata) tamat pada pada tahun 2013, tahun 2016 tamat dari SMA Negeri1 Nubantukan-Lembata. Saat ini sedang menempuh  studinya di Universitas Flores. Karya-karyanya sering dimuat dalam beberapa buku Antologi Puisi bersama. Juga sering dimuat pada media cetak dan media online diantaranya: Pos Kupang, Flores Pos, Kabar NTT, Cakrawala Pendidikan, Weekline.net, Flores Pos.co. Bergabung dalam Komunitas Sastra Rakyat Ende (SARE).*** (Vinsen Polli, Tinggal di Tuak Daun Merah, Kupang).


https://vinsensiuspolli.blogspot.com/2020/06/catatan-kecil-selepas-malam-bedah-buku.html


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

ASAL MULA PESTA KACANG DI LAMAGUTE

  ASAL MULA PESTA KACANG DI LAMAGUTE Karya: Fransisco Emanuel Olaraya Witak Siswa Kelas IX SMPK. St. Pius X Lewoleba Sayembara dimulai, semua orang berusaha menebak apa nama pohon yang tumbuh di tengah kampung itu, ketika semua orang hiruk pikuk munculah salah satu pemuda dan mengacungkan tangannya, hendak menjawab sayembara itu. Ia pun diberi kesempatan untuk menjawab, dengan penuh rasa percaya diri ia melangkah ke depan berdiri di tengah namang dan berujar: “..........”. Tepatlah di sebuah perkampungan yang terletak di Pulau Solor Kabupaten Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur, nama kampung itu adalah Pamakayo. tumbuhlah sebuah pohon, pohon itu tinggi tak seberapa dan berkilauan daunnya. Semua warga di kampung itu tidak mengetahui nama pohon itu siapa yang menanamnya. Hanya ada satu orang saja yang mengetahui nama pohon itu, dia adalah Tuan Raja pemimpin kampung atau kepala kampung itu. Sebagai Tuan Raja, ia pun membuat sayembara untuk menebak nama pohon itu. Ia ...

RITUAL GA KLOBONG; PROSES MEMBANGKITKAN SPIRIT UNTUK MENENUN

Ket: proses memasak minyak kelapa murni Ga Klobong adalah sebuah ritual adat yang dilaksanakan sebelum aktivitas menenun sarung. Ga klobong diambil dari bahasa daerah Lamaholot-Leragere, yakni Ga yang berarti makan dan Klobong yang adalah sebutan untuk kelompok model motif yang dibagi berdasarkan garis keturunan Ibu. Kelompok yang dibagi menjadi dua bagian yakni Klobong Mori atau Motif Hidup dan Klobong Mating atau Motif Mati. Ritual adat ini diyakini sebagai proses pembersihan, penguatan diri dan penyegaran diri serta membangkitkan kembali roh untuk menenun, oleh masyarakat Leragere Kecamatan Lebatukan Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur pada umumnya dan terkhusus oleh masyarakat desa Lewoeleng. Masyarakat Lewoeleng juga yakin bahwa ritual Ga Klobong akan memperlancar segala aktivitas dan proses menenun serta sebagai momen yang membangkitkan spirit untuk menghasilkan motif tertentu yang baru dengan tekstur yang berkualitas sebagaimana yang diidealkan. Menyadari bahwa...

Kan Tidak Enak Kalau Mati KonyolBercerita Yuk!

Kan Tidak Enak Kalau Mati Konyol Bercerita Yuk! Setiap perjalanan atau pengalaman  mempunyai kisahnya atau ceritanya sendiri-sendiri, ada cerita bahagia yang membuat kita tertawa bersama, ada cerita sedih yang membuat kita muram sembari meneteskan air mata dan kehilangan semangat, tetapi mesti kuat dan berdiri lagi, ada cerita menarik lainnya yang membuat kita terharu dan terus membekas di lubuk hati.  Sebuah kisah akan ada dan terus hidup kalau diceritakan dengan baik dari waktu ke waktu. Entahlah kalimat ini diucapkan oleh siapa pada mulanya, terima kasih kepada siapa yang pertama kali mengungkapkan kalimat ini.  Pada kali ini saya akan menulis sedikit pengalaman. Suka atau tidak suka yah silahkan, yang terpenting saya berusaha menulis walaupun tidak sempurna, agar saya tidak hidup sia-sia begitu saja makan-tidur-bangun-berak-mandi-bersolek-belanja, makan dan tidur lagi. Yah sudahlah. Jangan jadi bijaksana di sini. Setiap orang mempunyai caranya masing-m...