Skip to main content

ASAL MULA PESTA KACANG DI LAMAGUTE

 

ASAL MULA PESTA KACANG DI LAMAGUTE

Karya: Fransisco Emanuel Olaraya Witak

Siswa Kelas IX SMPK. St. Pius X Lewoleba

Sayembara dimulai, semua orang berusaha menebak apa nama pohon yang tumbuh di tengah kampung itu, ketika semua orang hiruk pikuk munculah salah satu pemuda dan mengacungkan tangannya, hendak menjawab sayembara itu. Ia pun diberi kesempatan untuk menjawab, dengan penuh rasa percaya diri ia melangkah ke depan berdiri di tengah namang dan berujar:

“..........”.

Tepatlah di sebuah perkampungan yang terletak di Pulau Solor Kabupaten Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur, nama kampung itu adalah Pamakayo. tumbuhlah sebuah pohon, pohon itu tinggi tak seberapa dan berkilauan daunnya. Semua warga di kampung itu tidak mengetahui nama pohon itu siapa yang menanamnya. Hanya ada satu orang saja yang mengetahui nama pohon itu, dia adalah Tuan Raja pemimpin kampung atau kepala kampung itu. Sebagai Tuan Raja, ia pun membuat sayembara untuk menebak nama pohon itu. Ia mengumumkan kepada seluruh warga di kampungnya dan menyuruh para hulubalangnya untuk menyebarkan informasi itu ke kampung-kampung dan pulau tetangga.

“Tahun ini kampung kita akan melaksanakan sebuah ritual yaitu pesta kacang peta kacang ini kita adakan sebagai syukuran atas berkat dan kelimpahan panen kebun kita yang melimpah tahun ini, pesta ini sekaligus sayembara, isi sayembara ini adalah menebak nama pohon yang tumbuh di tengah kampung ini. Siapa yang memenangkan sayembara ini akan diberi hadiah, yakni membawa pulang pohon yang tumbuh berkilauan ini pulang ke kampungnya. Untuk itu semua warga menyiapkan tempat, perlengkapan, dan makanan untuk menyukseskan pesta sekaligus sayembara ini” demikianlah titah Sang Tuan Raja.

 

Kabar tentang sayembara itu terdengar oleh seluruh warga kampung itu dan oleh  sekelompok orang di pulau tentangga yakni Kampung Boleng di Pulau Adonara Kabupaten Flores Timur-NTT. Maka bertolaklah sekelompok orang perkasa dari Kampung Boleng-Adonara dengan menggunakan alat trasportasi perahu layar untuk mengikuti sayembara itu. Dua jam perjalanan diterjang ombak, tak mematahkan semangat mereka. Tibalah mereka di Kampung Pamakyo dan mengikuti Sayembara itu.  Mereka dengan penuh semangat mengikuti sayembara itu. Sayembara dimulai, semua orang berusaha menebak apa nama pohon yang tumbuh di tengah kampung itu, ketika semua orang hiruk pikuk munculah salah satu pemuda dan mengacungkan tangannya, hendak menjawab sayembara itu. Nama pemuda itu adalah Boli Palang Ama. Boli pun diberi kesempatan untuk menjawab, dengan penuh rasa percaya diri ia melangkah ke depan berdiri di tengah namang dan berujar:

“ nama pohon ini adalah Cendana”.

“tepat sekali anak muda” sanggah Sang Raja

Sorak sorai dan tepuk tangan semua warga yang berkumpul di namang itu terdengar riuh karena pemuda itu menjawab dengan benar sayembara yang di selenggarakan itu. Sesuai dengan kesepakatan bahwa yang memenangkan sayembara akan membawa pulang pohon tersebut, maka rombongan anak muda yang dipimpin oleh pemuda bernama Boli Palang Ama berhak menerima hadiah sayembara pada kesempatan itu.

            Setelah memerima hadiah kemenangan yakni pohon cendana, pasukan dari kampung Boleng itupun pulang menggunakan perahu layar. Dalam perjalanan pulang, tiba-tiba angin bertiup sangat kencang, beserta amukan gelombang laut mengadang perahu mereka, perahu mereka terombang-ambing terbawa arus. Semua pemuda yang ada panik dan berteriak histeris, Boli Palang  Ama yang merasa sebagai pemimpin rombongan berusaha menenangkan teman-temannya. Mulutnya komat-kamit mengucapkan beberapa mantra,

“ O....Ama Rera Wulan.... Ina Tana Ekan, jaga kame ia tasi tukang//mete kame saing te lewo kame

Tetapi rupanya sia-sia gelombang laut semakin ganas. Arus laut membawa perahu mereka terombang-ambing  ke arah timur, sehingga mereka pun tiba di suatu pantai dalam keadaan sempoyongan. Mereka kemudian berusaha mencari orang-orang di sekitar tempat itu, tetapi tidak ada yang menghuni kampung itu. Semuanya sunyi, sepi!. Mereka tidak tahu apa nama kampung itu..

Melihat itu Boli Palang Ama mengajak rombongannya berjalan kaki ke arah gunung Ile Ape (yang sekarang diganti dengan nama Ile Lewotolok) untuk mengamankan pohon cendana yang mereka bawa dan mencari bantuan bahan makanan kepada warga setempat. Dalam perjalanan ke gunung mereka bertemu dengan beberapa orang, mereka pun bertanya-tanya dan menceriterakan bagaimana mereka tiba di tempat itu. Ternyata nama tempat itu adalah Waimatan (sekarang desa Waimatan kecamatan Ile Ape Timur Kabupaten Lembata). Setelah mendapatkan sedikit makanan dari warga yang ditemui dan menanam pohon cendana itu, mereka pun diajak kembali ke pantai, tempat perahu mereka karam. Setibanya di tepi pantai ternyata tak diduga perahu layar mereka telah berubah menjadi batu (sejak saat  itu batu itu diberi nama wato tena sampai sekarang). Boli Palang Ama sebagai pemipin rombongan itu akhirnya memutuskan untuk tetap tinggal di situ. Karena warga kampung Waimatan sepi, mereka pun berjalan melewati pesisir pantai mencari pemukiman yang yang ramai. Maka tibalah mereka di sebuah kampung di tepi pantai, kampung itu adalah Atawatung (sekarang Desa Lamagute Kecamatan Ile Ape Timur Kabupaten Lembata).

Palang Ama dan rombongannya tinggal berbaur dan menetap bersama warga kampung Atawatung. Dari sinilah bermulanya ritual pesta kacang. Ritual pesta kacang yang dilihat dan  diikuti di Pamakayo, diterapakan dan diwariskan secara turun temurun hingga saat ini.

Sama seperti di Pamakayo, ritual pesta kacang dilakukan di gunung, di tempat pohon cendana hadiah sayembara di tanam. Ritual pesta kacang ini diyakini sebagai syukuran atas hasil panen selama setahun berjalan. Di kampung Atawatung desa Lamagute Pesta kacang biasanya dilaksanakan pada bulan Juli.  Pesta Kacang yang dilaksanakan di Kampung Atawatung Desa Lamagute merupakan pembukaan Ritual Pesta Kacang di Kabupaten Lembata khususnya bagi masyarakat di kawasan Ile Ape.


Tangga seribu, jalan menuju kampung lama

Foto:kelilingbuanablogspot.com

Kampung Atawatung Desa Lamagute merupakan salah satu desa di Kecamatan Ile Ape Timur Kabupaten Lembata Provinsi Nusa Tenggara Timur. Desa Lamagute terletak 28 dari kota Lewoleba dengan jarak tempuh menggunakan bis umum sekitar 30 menit. Para wisatawan biasanya menggunakan bis umum seperti bis pariwisata milik pemerintah daersh ke Desa Lamagute, jika hendak menyaksikan ritual pesta kacang. Setiap tahun para wisatawan baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri selalu ikut menyaksikan ritual pesta kacang ini. Ritual Pesta Kacang biasanya dilaksanakan di atas gunung, yang disebut dengan kampung lama atau kampung adat. Di kampung lama terdapat banyak rumah adat dari semua suku yang ada di kampung Atawatung. Rumah-rumah adata itu dibangun mengelilingi sebuah batu/mesbah tempat dilaksanakannya ritual Parabori (pemberian sesajian kepada leluhur). Untuk mencapai kampung lama atau kampung adat Atawatung kita harus mendaki melewati anak tangga yang cukup tinggi, orang setempat menyebutnya tangga seribu. perjalanan menuju kampung lama kira-kira satu jam dengan berjalan kaki. Selain mengikuti pesta kacang,  dari atas bukit kita juga bisa menyaksikan panorama alam yang luar biasa apalagi jika fotonya diambil saat sore hari. Hasilnya sangat memanjakan mata, bagi para penikmat senja. Di sana ada juga situs manusia berdiri (batu besar bergambar manusia yang berdiri) dan wato nale (sebuah batu berbentuk perahu) yang terletak di pinggir kampung, para wisatawan biasanya diijinkan untuk melihatnya. Bagi pecinta tenun, para penenun di desa ini juga menyiapkan tenunan dengan motif yang khas dan layak dikagumi.

Text Box: Situs Wato Nale
Foto: FE.O.Witak

Text Box: Situs Manusia Kangkang
Foto: FE.O.Witak

f
                     

Comments

Popular posts from this blog

RITUAL GA KLOBONG; PROSES MEMBANGKITKAN SPIRIT UNTUK MENENUN

Ket: proses memasak minyak kelapa murni Ga Klobong adalah sebuah ritual adat yang dilaksanakan sebelum aktivitas menenun sarung. Ga klobong diambil dari bahasa daerah Lamaholot-Leragere, yakni Ga yang berarti makan dan Klobong yang adalah sebutan untuk kelompok model motif yang dibagi berdasarkan garis keturunan Ibu. Kelompok yang dibagi menjadi dua bagian yakni Klobong Mori atau Motif Hidup dan Klobong Mating atau Motif Mati. Ritual adat ini diyakini sebagai proses pembersihan, penguatan diri dan penyegaran diri serta membangkitkan kembali roh untuk menenun, oleh masyarakat Leragere Kecamatan Lebatukan Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur pada umumnya dan terkhusus oleh masyarakat desa Lewoeleng. Masyarakat Lewoeleng juga yakin bahwa ritual Ga Klobong akan memperlancar segala aktivitas dan proses menenun serta sebagai momen yang membangkitkan spirit untuk menghasilkan motif tertentu yang baru dengan tekstur yang berkualitas sebagaimana yang diidealkan. Menyadari bahwa...

Kan Tidak Enak Kalau Mati KonyolBercerita Yuk!

Kan Tidak Enak Kalau Mati Konyol Bercerita Yuk! Setiap perjalanan atau pengalaman  mempunyai kisahnya atau ceritanya sendiri-sendiri, ada cerita bahagia yang membuat kita tertawa bersama, ada cerita sedih yang membuat kita muram sembari meneteskan air mata dan kehilangan semangat, tetapi mesti kuat dan berdiri lagi, ada cerita menarik lainnya yang membuat kita terharu dan terus membekas di lubuk hati.  Sebuah kisah akan ada dan terus hidup kalau diceritakan dengan baik dari waktu ke waktu. Entahlah kalimat ini diucapkan oleh siapa pada mulanya, terima kasih kepada siapa yang pertama kali mengungkapkan kalimat ini.  Pada kali ini saya akan menulis sedikit pengalaman. Suka atau tidak suka yah silahkan, yang terpenting saya berusaha menulis walaupun tidak sempurna, agar saya tidak hidup sia-sia begitu saja makan-tidur-bangun-berak-mandi-bersolek-belanja, makan dan tidur lagi. Yah sudahlah. Jangan jadi bijaksana di sini. Setiap orang mempunyai caranya masing-m...