Skip to main content

Lamalera, Laut, Perempuan dan Kehidupan yang Sakral

Lamalera, Laut, Perempuan
dan Kehidupan yang Sakral

Ket. Pinggir Pantai Lamalera
Foto: Istimewa
Levo Lamalera-Lembata tetap menjadi tempat yang teduh untuk menumpahkan segala rasa yang ada di dalam hati. Lamlera terletak di ujung selatan pulau Lembata.
Kali ini lagi saya mengunjungi lamalera setelah dua tahun berlalu dengan kesibukan-kesibukan duniawi yang tak menentu.
Menuju Lamalera atau kerap disebut levo nuba tidaklah muda, tiba di Levo nuba membutuhkan tekad yang kuat dan sabar yang cukup. Jalan berliku nun terjal menuruni lembah mendaki bukit letih nian. Tetapi semua kecapaian terbayar dengan pemandangan yang menedukan jiwa dan dentuman ombak yang terdengar syahdu ketika memasuki perkampungan Lamalera. 
Sungguh damai.

Pantai Lamalera atau ina Leva selalu menjadi pilihan pertama ketika tiba di Lamalera. Teh atau minuman apapun yang disediakan akan terasa hambar apabila belum menginjakan kaki di pantai dan menghirup dalam-dalam aroma laut yang menghidupkan itu.
Ina Leva yang menghidupkan orang-orang Lamalera ini, seolah menghapus lelah dan letih kita setelah melewati jalan panjang nan liku. Pantai Lamalera memberi ketenangan bagi kita saat tiba walau sorak-riang anak kecil saat menyambut pulang perahu para Lamafa, memberi kehangatan walau ada angin yang menghantar pulang perahu para Lamafa, seperti ibu yang selalu setia menanti kepulangan kita dan tulus memeluk dengan cinta yang tak kunjung selesai. Begitulah pantai Lamalera-Ina Leva.

Tampak dari tengah lautan Lamafa mengayuh perahunya pulang menuju pantai dengan nyanyian-nyanyian syukur yang diwariskan leluhurnya dan sesekali memohon kepada angin dengan bernyanyi pula agar angin bertiup untuk membantu memulangkan perahu mereka. Sambil menyeruhkan kata "hilibe….hilibe….hilibe!".
Setibanya di pinggir pantai, mereka Lamafa beserta perahu dan hasil tanggkapannya dijemput oleh para ibu, Mama janda dan anak-anak. Para ibu dan Mama janda duduk dengan penuh harap mungkin sambil merapalkan doa Karonka sebab sore itu pukul tiga. Begitulah orang-orang Lamalera yang selalu punya keyakinan penuh bahwa Tuhan selalu melimpahkan rahmatnya melalui laut, yang adalah ibu yang memberi hidup bagi mereka. Ketika perahu pulang anak laki-laki yang sedang bermain berlatih menombak menggunakan kayu kering seketika melepaskan aktifitasnya lalu menuju arah perahu untuk menyambut para Lamafa.  Mereka lalu bersama Lamafa mendorong perahu berisi hasil tangkapan menuju pondok yang berjejer di pinggir pantai, tempat perahu diletakan.
Begitu semangat tekad mereka walau dalam usia anak-anak. 

Bila musim Leva tiba yang berkisar dari bulan Mei-Oktober, pada malam hari pantai akan menjadi sepi. Hanya terdengar dentuman ombak yang terhempas di bebatuan, ditambah angin sepoi yang teduh. Damai nian! Orang-orang Lamalera di sekitar atau para wisatawan pun tidak diperbolehkan untuk duduk di pantai pada malam hari, apalagi anak gadis. Itu pemali. Orang Lamalera memengang teguh tradisi dan budaya para leluhur. 
Laut bagi mereka seperti cermin. Laut adalah cerminan diri para Lamafa.
Apabila ada kesalahan di dalam diri Lamafa, maka seorang Lamafa tidak akan mendapatkan ikan ketika melaut.
Apabila Lamafa itu tidak rendah hati, angkuh dan tidak bijaksana dalam kehidupan berkeluarga dan masyarakat maka, ketika menombak ikan paus sekuat tenaga pun luka tombakannya tidak dalam. Begitu pula sebaliknya.
Lalu ketika pergi melaut istri mereka tetap di dalam rumah. Mereka menenun dengan sabar sambil menghitung waktu untuk berdoa demi keselamatan suami atau anaknya yang sedang ada di laut. Proses melaut dimulai dengan doa, diiringi dengan doa dan disambut dan  di ahkiri dengan doa. Begitu sakral proses melaut bagi orang Lamalera.

Mama Klara Istri Seorang Lamafa

Maka menjadi istri Lamafa dan ibu putra putri lautan yang akan tinggal di Levo Lamalera tidak gampang. Harus menjadi ibu yang panjang sabar, sabar berdoa dan menanti pulang para pelaut, harus menjadi ibu yang setia, setia apabila suatu saat ada bahaya dan dia menjadi seorang janda, harus menjadi ibu yang rendah hati dan bijaksana.

Kemudian, Gripe atau tangga alam yang sekarang sudah dimodifikasi yang konon katanya sebagai penghubung atau jembatan desa Lamalera A dan desa Lamalera B. Gripe ini menjadi salah satu kekhasan di Kampung Lamalera. Apabila ada sebutan atau kata "Gripe" itu hanya ada di Lamalera-Lembata.
"Gripe" juga selalu menjadi salah satu pilihan untuk mengabadikan moment.
Lamalera kampung para pelaut, kampung para Lamafa, di mana putra-putrinya dibesarkan dari Ibu Laut. Sungguh aku terenyuh! 
Aku akan datang lagi. Nanti!

Lamalera di suatu subuh
2020


Ina leva: ibu laut
Lamafa: laki-laki yang menombak ikan paus.
Gripe: Tangga alam
Hilibe: Teriakan untuk memberikan semangat
Levo Nuba: kampung halaman


*Tulisan ini Pernah dimuat di media online tabeite.com

Comments

Popular posts from this blog

ASAL MULA PESTA KACANG DI LAMAGUTE

  ASAL MULA PESTA KACANG DI LAMAGUTE Karya: Fransisco Emanuel Olaraya Witak Siswa Kelas IX SMPK. St. Pius X Lewoleba Sayembara dimulai, semua orang berusaha menebak apa nama pohon yang tumbuh di tengah kampung itu, ketika semua orang hiruk pikuk munculah salah satu pemuda dan mengacungkan tangannya, hendak menjawab sayembara itu. Ia pun diberi kesempatan untuk menjawab, dengan penuh rasa percaya diri ia melangkah ke depan berdiri di tengah namang dan berujar: “..........”. Tepatlah di sebuah perkampungan yang terletak di Pulau Solor Kabupaten Flores Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur, nama kampung itu adalah Pamakayo. tumbuhlah sebuah pohon, pohon itu tinggi tak seberapa dan berkilauan daunnya. Semua warga di kampung itu tidak mengetahui nama pohon itu siapa yang menanamnya. Hanya ada satu orang saja yang mengetahui nama pohon itu, dia adalah Tuan Raja pemimpin kampung atau kepala kampung itu. Sebagai Tuan Raja, ia pun membuat sayembara untuk menebak nama pohon itu. Ia ...

RITUAL GA KLOBONG; PROSES MEMBANGKITKAN SPIRIT UNTUK MENENUN

Ket: proses memasak minyak kelapa murni Ga Klobong adalah sebuah ritual adat yang dilaksanakan sebelum aktivitas menenun sarung. Ga klobong diambil dari bahasa daerah Lamaholot-Leragere, yakni Ga yang berarti makan dan Klobong yang adalah sebutan untuk kelompok model motif yang dibagi berdasarkan garis keturunan Ibu. Kelompok yang dibagi menjadi dua bagian yakni Klobong Mori atau Motif Hidup dan Klobong Mating atau Motif Mati. Ritual adat ini diyakini sebagai proses pembersihan, penguatan diri dan penyegaran diri serta membangkitkan kembali roh untuk menenun, oleh masyarakat Leragere Kecamatan Lebatukan Kabupaten Lembata Propinsi Nusa Tenggara Timur pada umumnya dan terkhusus oleh masyarakat desa Lewoeleng. Masyarakat Lewoeleng juga yakin bahwa ritual Ga Klobong akan memperlancar segala aktivitas dan proses menenun serta sebagai momen yang membangkitkan spirit untuk menghasilkan motif tertentu yang baru dengan tekstur yang berkualitas sebagaimana yang diidealkan. Menyadari bahwa...

Kan Tidak Enak Kalau Mati KonyolBercerita Yuk!

Kan Tidak Enak Kalau Mati Konyol Bercerita Yuk! Setiap perjalanan atau pengalaman  mempunyai kisahnya atau ceritanya sendiri-sendiri, ada cerita bahagia yang membuat kita tertawa bersama, ada cerita sedih yang membuat kita muram sembari meneteskan air mata dan kehilangan semangat, tetapi mesti kuat dan berdiri lagi, ada cerita menarik lainnya yang membuat kita terharu dan terus membekas di lubuk hati.  Sebuah kisah akan ada dan terus hidup kalau diceritakan dengan baik dari waktu ke waktu. Entahlah kalimat ini diucapkan oleh siapa pada mulanya, terima kasih kepada siapa yang pertama kali mengungkapkan kalimat ini.  Pada kali ini saya akan menulis sedikit pengalaman. Suka atau tidak suka yah silahkan, yang terpenting saya berusaha menulis walaupun tidak sempurna, agar saya tidak hidup sia-sia begitu saja makan-tidur-bangun-berak-mandi-bersolek-belanja, makan dan tidur lagi. Yah sudahlah. Jangan jadi bijaksana di sini. Setiap orang mempunyai caranya masing-m...