Malam sepertinya begitu gelap, langit enggan menampakan cahaya sedikitpun. Suasana begitu mencekam. Terdengar dari sebuah rumah diujung sebuah kampung seorang ibu setengah tua, dengan sedikit uban di atas kepalanya, kulitnya tidak kencang lagi membungkus tulang wajahnya. Dia ibu Helena. Ibu Helena tengah berbisik kepada anak-anaknya.
“Ini cukup untuk makan malam kita nak,” ucap ibu Helena dengan mata berkaca-kaca sembari membelai rambut anak-anaknya. Ibu sudah kenyang tambahnya lagi. Memang ibunya suka berbohong kepada anak-anaknya bahwa ia sudah makan, dia sudah minum. Padahal yang sungguhnya perutnya sedang lapar minta diisi. Betapa kuat ibu mengemas semunyanya itu demi anak-anaknya.
Mereka menetap di sebuah kampung dimana situasi masyarakat saat itu hidup saling membenci, yang susah makin susah dan yang kaya senang melihat mereka yang susah. Hidup saling gunting-mengunting, saling menjatuhkan. Sehingga ayah dari anak-anak ibu Helena di usir dan terpaksa pergi dari kampungnya sendiri, ia marantau disuatu tempat, ia tak bisa membawa pergi istri dan anak-anaknya. Sehingga istrinya harus sendirian bersama dengan anak-anak mereka. Ayahnya pergi dan sesekali memberi kabar kepada mereka dengan mengirim surat. Ibu Helena hidup sendirian bersama tiga orang anak mereka.
Di musim hujan tiba ketika semua orang dikampungya sibuk membersihkan kebun, bersiap-siap untuk menanam benih ibu Helena juga melakukan hal yang sama. Bangun dipagi hari selain mengurus anak-anaknya pergi ke sekolah , ia pun bergegas ke kebun. Ibu helena sudah terbiasa dengah hal itu sebelun suaminya pergi meninggalkan mereka untuk sementara waktu. Di kebun selain membersihkan rumput, menanam benih, Ibu Helena dengan lengan dan keringatnya membuat pondok darurat untuk tempat berteduh tak kala terik membakar dan hujan menguyup.
Hidup mereka hanya mengandalkan sedikit hasil dari kebun dan jasa yang di jualkan kepada penguasa di kampungnya demi sesen rupiah, untuk menopang hidup mereka. Hingga disuatu hari di kebun terlihat ibu Helena sedang sibuk memutar-mutar isi kepalanya ia sedang memikirkan sesuatu. “Apa yang harus kukatakan pada anak-anak nanti”. Persedian beras dirumah tinggal sedikit setelah memasak pagi tadi. Ia harus kembali dari kebun dan membawa beberapa potong ubi kayu, setibanya dirumah dengan segala rasa dan air mata ia memasak ubi kayu itu buat makan di malam hari nanti. Sedang pagi tadi anaknya yang pertama memberikan sebuah nota yang isinya penagihan pembayaran uang komite sekolah. Rupiah tak ada sama sekali.
Begitulah ia melakukan ini disetiap malam. Malam berganti pagi, minggu berlalu pergi, berganti bulan dan tahun. Anak-anaknya bertambah besar dan dewasa ibu helena tetap sabar menjalankan hidupnya seperti ini.menjalani hidup tanpa seorang ayah, sehinga segala pekerjaan yang harus dilakukan oleh laki-laki, ibu Helena dengan tegar melakukan semuanya itu. Sembari membuat anak-anaknya bahagia betappun berat, derita itu ia simpan baik-baik dalam sanubarinya.
*Penulis adalah Mahasiswa Pendiddikan Ekonomi
Universitas Flores, penikmat seni dan sastra.
Ceritanya menarik milla
ReplyDeleteMakasih
ReplyDelete